Kepemimpinan Dalam Islam

 Kepemimpinan menyeluruh bagi seluruh lapisan kaum muslimin seluruh dunia sepeninggal Nabi besar Muhammad saww adalah diemban oleh 12 pribadi suci Ahlul-bait Nabi Akhiruz-Zaman sendiri yang secara estafet  hingga hari kiamat secara syari dan sah akan mengembani terus tugas Ilahi ini walau karihal munaafiquun, walau karihal kaafiruun.   IMAMAH   

Rasulullah saww setelah hijrah ke Madinah, dengan bantuan tampa pamrih rakyat kota itu yang menyebabkan mereka mendapat julukan yang membanggakan yaitu “Ansor”-para penolong Nabi, serta bantuan kaum muslimin dari kota Makkah (muhajirin)- Beliau berhasil membangun masyarakat Islam, dan beliau sebagai pengatur langsung urusan kaum muslimin.

Mesjidun-nabi selain berfungsi sebagai tempat peribadatan, tablig risalah Ilahi, pengajaran dan pentarbiahan rakyat, juga berfungsi sebagai tempat berlindung kaum muhajirin dan fuqaro. Di sana juga beliau mengatasi kesulitan ekonomi mereka, sebagaimana-pun disana digunakan untuk tempat muhakamah dan menyelesaikan persengketaan serta tempat memutuskan perkara kemilitarian, mengutus kekuatan ke medan perang serta pertahanan sanggar dan seluruh urusan kenegaraan. Dengan satu istilah kalimat  “Pengaturan urusan dunia dan akhirat rakyat terlaksanakan di tangan Rasulullah saww”, dan kaum muslimin merasakan diri mereka berkewajiban mentaati Rasulullah saww, karena Allah Taala; selain mewajibkan secara mutlak mentaati rasulNya(1) terkhusus dalam urusan siasah/politik, pengadilan dan kemiliterian sebagai perkara-perkara yang lebih ditekankan untuk mereka mentaati dan mengikuti Rasulullah saww yang mulia(2). Dengan kata lain ; Rasulullah yang mulia saww Sebagai pengemban pertama Agama Islam selain mengemban tugas kenabian, risalah, ta’lim, tarbiah, penerangan hukum-hukum Islam, beliau juga mengemban tugas lain Ilahi yaitu sebagai pemimpin umat Islam, yang memiliki cabang-cabang tugas; Kehakiman, ketentaraan dll, karena Islam selain mengandungi tugas peribadatan dan akhlak, juga memiliki hukum-hukum berpolitik, ekonomi, hukuk dll, jadi Rasulullah saww selain mendapat tugas–tugas tersebut dari pada Allah Taala, juga beliau mengemban tugas melaksanakan ahkam dan undang-undang Ilahi sehingga beliau pemilik segala kedudukan dalam kenegaraan. 

Yang jelas adalah; suatu agama yang mendengungkan memimpin keseluruh segi urusan kemanusiaan hingga berakhirnya alam dunia, tidak dapat dituduh; tidak mempedulikan masalah kepemimpinannya hingga hari kiamat. Dan suatu umat yang muncul berasaskan agama yang demikian, tidak dapat kosong dari tanggungjawab politik dan kenegaraan. Tanggungjawab itu dikenal berada dibawah topik “Imamah/kepemimpinan umat”.  

Ada pertanyaan yang patut diutarakan disini; Setelah Rasulullah saww berpulang kerahmatullah, siapakah yang layak dan harus memikul maqam/kedudukan ini?, dan Dia itu dari mana dapat ditentukan?. Apakah Allah Taala yang telah menetapkan atas RasulNya yang mulia saww, juga telah menetapkannya untuk orang lain?, Bahkan apakah masyruiat/otoritas pelaksanaan maqam ini hanya dalam naungan Ilahi saja, artinya Allah taala sajalah yang berhak menentukan dan menganugrahkannya sehingga kesahannya secara syariat dapat dipertanggungjawabkan?. Ataukah penganugrahan Allah Taala akan maqam “Imamah” ini hanya khusus untuk Rasul sendiri dan setelah beliau, umat harus memilih sendiri orang yang akan menjadi imam/pemimpin mereka?. Apakah memang demikian yang betul yaitu umat memiliki hak untuk memilih sendiri pemimpin bagi dirinya? Ataukah tidak demikian!. 

Di sinilah titik perbedaan pandangan antara mazhab Hak dan mazhab batil. yaitu mazhab Hak meyakini bahwasannya masalah Imamah adalah masalah “Mansabul-Ilahi” artinya Allah Taala-lah yang berhak menganugrahkannya/menetapkannya kepada insan-insan yang mempunyai kelayakan untuk mengemban maqam ini, dan perkara ini Allah taala memang-pun telah melakukannya melalui perantaraan RasulNya sendiri, Amirul-Muminin Ali bin Abi Thalib as Adalah pemilik maqam ini langsung setelah meninggalnya Rasulullah saww, dan setelah beliau adalah terdapat 11orang imam yang silih berganti secara turun temurun dari silsilah anak dan keturunan putra beliau yang telah ditentukan oleh Allah sendiri untuk mengembani maqam keimamahan umat dalam kedaulatan Islam. 

Tetapi mazhab Batil meyakini bahwa Maqam keimamahan Ilahi tidak ubahnya seperti makam kenabian dan risalah, dengan meninggalnya sang Rasul mulia saww, maka terhenti dan tertutuplah ia. Karenanya, sejak hari itu umat sendirilah yang menentukan pemimpinnya  (“fi-Ikhtiaril-Ummah”). Sehinggapun sebagian dari para ulama ahli Batil menjelaskan pandangannya; “Sekalipun jika seorang datang dengan menggunakan senjata, melakukan teror untuk menguasai rakyat, maka setelah dia berhasil menguasai mereka, maka mereka berkewajiban untuk mentaati pemimpin yang mendzolimi mereka itu bahkan mengutamakannya dari mentaati yang lain” yang tidak menguasai mereka secara dzahir”(3). 

Dengan pandangan yang demikian, jelas telah membuka lebar jalan bagi para teroris, pendzalim dan para penipu untuk menyalah gunakan arti “Kepemimpinan dalam Islam”, dan mereka telah menggunakan kesempatan ini untuk menghancurkan Islam dari dalam dan memundurkan umatnya dari menuju perkembangan maknawiat dan material. Pada hakekatnya Ahli kebatilan menerima masyruiat masalah keimamahan tampa “mansabul-Ilahi”, maka mereka telah meletakkan asas  “Pemisahan Agama dari politik” / “Tafkiku-din-minas-siasah”, Dan menurut kepercayaan Mazhabul-Hak; “Perkara inilah sebagai titik penyimpangan paling besar dari perjalanan hak Islam murni Muhammmadi yang tentunya berimbas kepada penyimpangan dalam ketaan dan peribadatan kepada Allah swt dalam seluruh segi dan asas kehidupan, dan juga ia merupakan sumber ribuan penyimpangan yang lain bagi umat Islam, yang terjadi sejak kepergian Ar-Rasul saww hingga hari ini” . 

Karena pentingnya perkara Imamah bagi setiap muslim, maka hendaknya dengan penuh kesungguh-sungguhan dan jauh dari bersikap taasub dan taqlid buta harus menjadi tumpuan kajian dan penelitiannya, sehinggalah ia dapat membedakan dan menentukan mana mazhab yang hak(4), lalu dengan sekuat daya membela dan mempertahankannya. Tidak lupa untuk dikata, maslahat/kebaikan dunia Islam hendaknya tetap-pun harus dijaga dan diperhatikan supaya dapat menghindari penyalahgunaan oleh musuh-musuh Islam yang mengambil kemanfaatan dari perpecahan umat Islam dan persengketaan mereka. Dan hendaknya jangan melakukan perkara-perkara yang menyebabkan terkoyaknya barisan kaum muslimin, sehingga memusnahkan kebersatuan mereka dihadapan kufar, yang tiada lain  kerugiannya akan kembali kepada kaum muslimin juga, dengan mengakibatkan kelemahan masyarakat Islam.  

Tetapi dari satu segi kita juga tidak memberhentikan penelitian dan pengkajian, karena mempertahankan persatuan kaum muslimin tidaklah menjadi pengahalang untuk mengadakan pengkajian dan penelitian aqidah Islam yang hak dan usaha untuk mengenali mazhab yang hak. Mewujudkan lingkungan dan suasana yang damai dalam meneliti masalah keimamahan sehingga pencapaian kesimpulan yang benar baginya, akan mempunyai atsar/bekas yang sangat memperbaiki harakat hidup kaum muslimin dan kebahagian dunia dan akhirat mereka. Insyaallah, Ilahi Amiiin. 

DEFINISI  IMAMAH 

Dalam bahasa, kata “Imamah” berarti; “Kepemimpinan”, seorang yang mengemban kepemimpinan suatu kelompok orang maka iaitu disebut “Imam”, baik ia di jalan yang benar ataupun batil, Demikian dalam Al-Quranul-Karim telah menggunakan kata ini “A’immatal-kufr”(5)  berkenaan dengan para pemimpin kafir, demikian juga bagi seorang yang diikuti sholat dibelakangnya disebut “imam jamaat”. Tetapi dalam istilah ilmu usulu-din : “Imamat mempunyai makna: “Kepemimpinan menyeluruh dan meliputi atas jamaah Islam dalam seluruh perkara agamawi dan duniawi”. (Penyebutan kata Duniawi di sini hanya menunjukan keluasan jangkauan kepemimpinan, kalau tidak demikian, maka tidak ada arti apa-apa, sebab pengaturan urusan duniawi masyarakat Islam adalah sebagai bagian dari urusan agama Islam itu sendiri). 

Dalam pandangan mazhabul Hak, kepemimpinan yang demikian, akan berotoritas Islami ketika ia berdasarkan ketetapan Allah Taala. Oleh karenanya seorang yang pada aslinya mempunyai kedudukan imamah-(bukan niabah/timbalan/wakil), maka ia akan terjaga dari segala kesalahan dalam menerangkan ahkam dan ma’rifat-ma’rifat/pengenalan-pengenalan Islami, dan juga ia akan terjaga dari segala dosa.

Pada kenyataannya para imam as, memiliki semua apa yang tertetapkan bagi Rasulullah saww kecuali kenabian, maka penjelasan mereka berkenaan dengan hakekat, ahkam dan ma’arifat Islam akan menjadi hujjah artinya perinta, larangan dan ketetapan-ketetapan mereka as dalam berbagai perkara kenegaraan mempunyai hukum wajib untuk ditaati oleh umat Islam. 

Dengan demikian, secara berurut perbedaan mazhabul-Hak dan mazhabul-Batil dalam masalah “Imamah” dapat dilihat dalam tiga masalah berikut:

1.     Hendaknya Imam itu harus ditetapkan oleh Allah swt.

2.    Hendaknya Imam itu harus memiliki ilmu laduni dan terjaga dari segala kesalahan.

3.    Hendaknya Imam itu harus terjaga dari segala dosa/maksum. Namun bukan berartikan memiliki kemaksuman/keterjagaan dari segala dosa dan kesalahan bagi seseorang itu, memastikan sama dengan ia memiliki maqam keimamahan, karena berdasarkan keyakinan mazhabul-Hak; Hadhrat Fathimah Zahro as, juga sebagai pribadi yang maksum sekalipun demikian, beliau tidak memiliki maqam ke-imamahan, demikian juga hadhrat Mariam as, memiliki maqam kemaksuman bahkan mungkin di antara para aulia Allah yang lain, juga ada yang memiliki makam kemaksuman, namun kita tidak mengenali-nya, karena pengenalan terhadap para pribadi maksum tidak ada jalan lain selain dari pemberitahuan Allah jua. Apatah lagi mereka yang sudah jelas-jelas tidak ada jaminan Allah swt tentang kemaksumannya; Maka bagaimana mereka telah menduduki maqam kepemimpinan umat langsung sepeninggal sang Rasul saww/Khulafau-Rasyidin dalam sejarah umat Islam, dapat dibenarkan?. 

KEBUTUHAN MANUSIA KEPADA IMAM  

Orang-orang yang tidak memiliki pandangan mendalam dan teliti dalam masalah-masalah kepercayaaan Agama, demikian menyangka bahwasannya; perbedaan Syiah dan Sunni mengenai masalah “Imamah”, tiada lain adalah; bahwasannya Syiah berkeyakinan bahwa Rasulullah yang mulia saww telah menunjukan Ali bin abi Thalib as sebagai pengganti kedudukan keimamahan dirinya dalam mengurusi urusan masyarakat Islam, tetapi Ahli Sunnah mempunyai kepercayaan bahwa yang demikian itu tidak terlaksana/tidak terjadi, dari itu umat memilih dan menentukan sendiri sekehendak hati mereka seorang sebagai pemimpin diri mereka, lalu ia (khalifah pertama umat Islam setelah Rasulullah saww), secara pribadi telah menentukan khalifah kedua sebagai pengganti dirinya untuk menjadi pemimpin umat Islam. Pada priode ketiga penentuan pemimpin umat Islam berdasarkan musyawarah kelompok yang beranggotakan enam orang yang telah ditentukan oleh khalifah kedua yang salah seorang dari mereka yang harus dipilih dan ditentukan untuk menjadi pengganti khalifah kedua, namun pada putaran berikutnya dalam pemilihan dan ketentuan khalifah keempat terjadi kembali rakyat secara bersama-sama (demokrasi) memilih dan menentukan pemimpin bagi dirinya.  Dari melihat sejarah siasah yang terjadi dalam dunia Islam, nampaknya tidak memiliki sistim yang pasti dalam menentukan pemimpin umat Islam. Dari itu setelah khalifah ke-empat, siapa saja yang memiliki kekuatan kemiliteran lebih, maka dia akan merenggut kedudukan ini /merampok suara rakyat/kudeta, tidak ubahnya seperti yang terjadi pada dunia kufar, sedikit atau banyak demikianlah yang terjadi dinegara-negara bukan Islam. Dengan kata lain; Sebagian besar umat Islam memahami bahwa; Syiah berkenaan dengan masalah penentuan Imam pertama setelah Rasulullah saww, tidak ubahnya seperti yang diyakini oleh Ahli Sunnah terhadap masalah penentuan khalifah kedua (Umar Bin Khatab) yang dilakukan atas pandangan khalifah pertama (Abu Bakar), yakni secara pribadi, khalifah menentukan langsung pengganti kedudukan kekhalifahannya yang akan berjalan setelah matinya. Hanya saja, ada perbedaan bahwa apa yang ditentukan oleh Rasulullah saww tidak mendapat sambutan dari umat, tetapi pandangan Abu Bakar telah mendapat sambutan?!!!. 

Tetapi ada pertanyaan yang harus diajukan yaitu; Dari manakah Khalifah pertama memperoleh hak menentukan khalifah kedua?, Apakah Rasulullah saww tidak punya hak dan rasa prihatin seukuran rasa prihatin yang dimiliki oleh Abu Bakar, ketika meninggalkan umat yang baru ditubuhkannya tampa pemimpin yang tertentukan?, sedangkan hanya keluar sebentar saja dari Madinah untuk jihat perang, Rasulullah saww menentukan pengganti kedudukannya, bahkan Rasulullah saww sendiri telah mengkhabarkan bahwa kondisi ikhtilaf dan munculnya berbagai fitnah setelah kepergian beliau kerahmatullah, akan terjadi dalam tubuh umatnya. 

Pada dasarnya harus diperhatikan bahwa perbedaan Syiah dan Sunni, berkenaan dengan perkara berikut, yaitu menurut pandangan Syiah; Keimamahan sebagai sebuah masalah asas/usuludin, dan bukan hanya sebagai masalah cabang agama. Dan syiah meyakini bahwa seorang Imam harus memiliki ketiga syarat (berilmu laduni, Ismat dan ketentuan dari Allah/nasbul-Ilahi). Dan uruf Ahli kalam syiah memahami; Syarat-syarat yang hampir serupa juga harus dimiliki oleh para pemegang kedudukan marja’iat (tempat rujukan umat dimasa ketidak hadiran Imam maksum dalam perkara mengenal ahkam Ilahi, kenegaraan dan kepemimpinan masyarakat Islam). Pembahasa-pembahasan berikut akan mengungkapkan kebenaran kepercayaan tersebut. 

KEPENTINGAN ADA-NYA IMAM 

Pencapaian tujuan penciptaan manusia, bergantung kepada petunjuk Allah sendiri melalui wahyuNya, dari itu hikmat dan kebijaksanaan Allah Taala telah mengutus Rasul-rasul suci-Nya, sehingga jalan kebahagiaan dunia dan akhirat ditunjukannya kepada umat manusia, inilah yang dapat memenuhi kebutuhan manusia.

Demikian juga Ar-Rasul mengajarkan manusia yang berpotensi, untuk menuju  ke-kesempurnaan penciptaannya, sehingga tingkat puncak sempurna, dapat dicapai olehnya, dan juga untuk kondisi masyarakat yang berpotensi, memikulkannya tanggungjawab menjalani ahkam dan undang-undang kemasyarakat Islami. Dan Agama suci Islam ini sebagai agama semua umat, abadi dan tidak akan mendapat pergantian lagi, setelah Rasul Islam saww tidak akan terutus seorang nabi lagi.

Tertutupnya pengutusan kenabian (khatamul anbia’) harus sepadan dengan makna tetap ada dan kekalnya hikmah dan kebijaksanaan terutusnya para anbia. Yakni Islam sebagai agama yang senantiasa memuat misi syariat samawi/Ilahi, penjawab semua kebutuhan manusia dan kekekalannya hingga berakhirnya dunia juga tetap menjamin segala kebutuhan umat manusia. 

Jaminan ini berkaitan dengan terjaminnya keterjagaan kitab suci yang memuat wahyu suci Tuhan, dari segala perubahan, pemutar-balikan dan pemalsuan. Namun Ahkam dan undang-undang Islam tidak dapat digunakan begitu saja secara apa yang nampak tertera secara dzahir dari ayat-ayat suci tsb, seperti halnya jumlah rakaat solat, cara melakukan dan ratusan perkara hukum wajib, mustahabnya, tidak dapat diperoleh dari kandungan dzahir Al-Quranul-karim, dan yang jelas Al-Quran tidak dalam rangka menerangkan secara terperinci mengenai ahkam dan perundangan, tugas ini diemban oleh Rasulullah saww, sehingga dengan ilmu yang Allah Taala berikan kepada beliau itu (selain wahyu Quran), Rasul menerangkan kepada umat manusia(6), dengan demikian Sunnatu-Rasul menjadi salah satu sumber yang dapat dijadikan hujjah dan dapat dipertanggungjawabkan bagi pengenalan Islam. 

Namun keadaan yang sulit yang dihadapi oleh Rasulullah saww, seperti tersekatnya kehidupan beliau dengan diisolir di Sheeb/lembah milik Abu Thalib dalam beberapa tahun, kemudian se-puluh tahun berperang dengan musuh-musuh Islam, keadaan demikian tidak mengizinkan bagi Rasulullah saww untuk menerangkan kepada umat semua perkara ahkam dan perundangan Islam, dan seukuran yang dapat disampaikannya itupun, yang diambil pelajaran oleh para sahabatnya, tidak memiliki jaminan untuk tetap murni dan betul, sekalipun masalah cara mengambil air sembahyang saja/berwudhu, telah mengalami perbedaan pendapat bagi umatnya, padahal para sahabat bertahun-tahun menyaksikan Hadhrat Rasulullah saww melakukan cara berwudhu.

Kalau pada kenyataannya ahkam amali seperti ini saja, dalam keadaan dipertikaikan- (Amal yang hari-demi hari sebagai kebutuhan semua kaum muslimin dulu dan sekarang bahkan tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami perubahan)- Apatah lagi mengenai perkara ahkam yang lebih susah, khususnya ahkam dan perundangan yang memang dapat membawa manfaat bagi orang-orang atau kelompok tertentu(7), tentu akan lebih mudah mengalami kesalahan dalam penyampaiannya secara turun-temurun. 

Dengan memperhatikan titik-titik penting di atas, terang bagi kita, Agama Islam sebagai satu-satunya Agama yang sempurna dan penjawab semua kebutuhan seluruh manusia hingga berakhirnya kehidupan dunia, tentunya dalam matan/kandungan Agama ini telah mengajukan pandangan terhadap sebuah jalan untuk menjamin terjaganya maslahat penting umat. Maslahat umat dengan kepergian Ar-Rasul tiada jalan lain yang menjadi tumpuan penguatannya selain menentukan seorang pengganti beliau yang layak untuk menduduki  kedudukan kepemimpinan umat. 

Pengganti yang memiliki ilmu laduni sehingga dapat menerangkan segala hakekat Agama dengan seluruh segi dan perinciannya, serta memiliki kepribadian yang terjaga dari segala dosa sehingga tidak dapat dikuasai oleh hawa nafsu syaithoni yang akan menyimpangkannya dari agama yang lurus dan supaya ia dapat memerankan peran pentarbiah sebagaimana Ar-Rasul saww, dan dapat menyampaikan kalangan insan yang berpotensi untuk menuju ke-kesempurnaannya, sebagaimana ketika adanya sebuah masyarakat yang berpotensi untuk menjalankan kedaulatan negara dan mengatur urusan masyarakat, dan menegakan hak dan keadilan di semerata alam. 

Hasil pembahasan adalah khatamnya kenabian dapat dianggap sukses dan layak apabila dengan adanya kebijakasanaan Ilahi yang berkaitan dengan tertetapkannya seorang Imam maksum (tansibul-Imamil-ma’sum).

Seorang Imam yang memiliki semua kekhususan Rasulullah saww kecuali kenabian. Dengan demikian kebutuhan manusia akan wujudnya seorang Imam maksum langsung setelah kepergian Ar-Rasul dapat kita pastikan, demikian juga keharusan memiliki ilmu laduni dan maqam ismat untuknya; serta keharusan penetapannya dari pihak Allah Taala sendiri, karena hanya Dialah yang Maha mengetahui kepada siapa ilmu dan ismat telah deanugrahkanNya, dan Dialah Pemilik Asli hak wilayah/berkuasa atas seluruh makhluknya sehingga hanya Dialah yang dapat menganugrahkan hak ini pada martabat yang lebih rendah kepada orang-orang yang mempunyai syarat-syarat/Wajidu-syara’it. Sebagai pengingatan bahwa; Ahli Sunnah tidak mengakui satupun dari syarat-syarat itu harus ada dimiliki oleh khalifah,  mereka tidak mengakui adanya ketetapan dari pihak Allah terhadap naiknya khalifah-khalifah itu untuk memimpin umat Islam, sebagaimana mereka juga tidak mengakui kepemilikan ilmu laduni dan maqam ismat bagi khalifah-khalifah itu.

Bahkan berbagai kesalahan dan kekeliruan dan kelemahan mereka dalam menjawab soala-soalan agama rakyat yang tertera dalam kitab-kitab muktabar mereka telah mereka rekam. Salah satu contoh khalifah pertama telah menyatakan bahwa; “Inna-li- Syaithonan-ya’tarini-Sungguh syathon telah memperdayakan-ku”. Dan dari khalifah kedua telah dinaqalkan bahwasannya ia berkata: “Pembai’atan dengan khalifah pertama dulu bersifat tergesa-gesa/filtatan(8), dan bahkan berkali-kali Umar bin Khatab berkata:“Lao-la-Ali-lahalaka-Umar(9)” jikalau tidak ada Ali maka binasalah Umar”. Dan Adapun kesalahan dan kekeliruan khalifah ketiga(10) serta khulafa bani Umayah dan Bani Abbas lebih terang dan lebih banyak, tentu bagi siapa saja yang membaca sejarah lengkap Islam akan lebih mengetahui matlab ini dengan ukuran yang cukup. 

Hanya Syiah Iitsna-asyari yang mempunyai i’tiqad bahwa bagi keduabelas Imam ahlul-bait nabi saww memiliki ketiga syarat tersebut, dengan memperhatikan pembahasan di atas maka dapat tertetapkan kebenaran keyakinan mereka terhadap masalah Imamah bagi umat Islam.  

1.        Silakan merujuk pada: Qs/Ali-Imron/32,132, An-Nisa/12/14/69/80,AlMaidah/92…

2.        Qs Al-Imron 152, An-Nisa 42/59/65/105, Al-Maidah/48…

3.        Sila melihat kitab: Al-ahkamul-sathaniah dari Abu Ya’la dan kitab Asawadul-A’dzam dari Abul-Qasim samarqandi w 40-42

4.        Kita patut bersyukur kerana telah banyaknya kitab yg telah ditulis oleh para ulama besar sprt: Abqatul-anwar,Al-ghadir,Dala’ilu-sidqi,Ghayatul-Maram,Itsbatul-huda, Aslu-Syiah wausuluha danAlmurojaat.

5.        Qs At-taubah/12.6.        Qs.Baqarah/ 151, Al-Imron/164, Jumah/2, Nahl/64-6

6,Ahzab/21,hasyr/7.

7.        Alamah Amini menyebutkan 700 nama orang sebagai para pembohong dan pemalsu hadist dalam kitab Al-Ghadir yang sebahagian dari mereka telah memalsukan lebih dari 100 ribu hadis (Alghadir /5/h 208.

8.        Sila melihat; Syarh Nahjul-Balaghah /j1/h142,158,j3/h57

9.        Al-ghadir j 6/ h93

10.     Al-ghadir j8/h97. 

7 Komentar »

  1. muhibbin said

    masalah ini sebenarnya sudah lama telah selesai dengan hujjah-hujjah yang konkrit dari Allah(al-quran) dan Rasul(hadis), tetapi yang menjadi masalah kepada kelanjutan pembahasan ini adalah sikap JUMUD, TAKSUB dan TAQLID BUTA yang menyelibungi mata hati dari mencari kebenaran hakiki. Ingatlah bahawa allah telah mengatakan “sesungguhnya wali(pemimpin) kamu itu HANYA ALLAH, RASUL dan orang yang beriman yang MEMBERI ZAKAT KETIKA DALAM KEADAAN RUKUK” dan nabi juga telah bersabda “sesungguhnya selepasku akan tertegak 12 imam dari keturunanku yang dimulai oleh Ali a.s dan di akhiri oleh Imam Mahdi a.f.”

  2. Johan said

    hapus korupsi di Indonesia. Mari bersama-sama memerangi korupsi. Ayo……….tanpa alasan!

  3. Wahyu Kurniawan said

    Rasulullah pernah bersabda dalam puisinya salah satunya ma’rifat adalah modalku dan ilmu adalah senjataku
    Maka menurut pendapatku mari kita bangun bangsa ini dengan modal ma’rifat(mengingat Allah SWT) dan ilmu yaitu sebagai senjatanya yang salah satunya terdapat dalam Ihsan, Iman dan islam(The esq way 165)
    1

  4. Wahyu Kurniawan said

    ” Assalamu’alaikum Wr Wb”
    Rasulullah pernah bersabda dalam puisinya salah satunya ma’rifat adalah modalku dan ilmu adalah senjataku
    Maka menurut pendapatku mari kita bangun bangsa ini dengan modal ma’rifat(mengingat Allah SWT) dan ilmu yaitu sebagai senjatanya yang salah satunya terdapat dalam Ihsan, Iman dan islam(The esq way 165)
    1 Ihsan artinya menyatukan hati dengan 7 nilai dasar esq
    Diantaranya : ( Kinerja SQ ) yang diambil dari asmaul husna
    a Jujur( Al Mukmin)
    b Tanggung jawab(Al Wakil)
    c Visioner(Al Akhir) : Jangka pendek menengah jangka panjang
    d disiplin(Al Matin)
    e Kerjasama(Al Jami’)
    f Adil( Al Adl)
    g Peduli
    2 Iman yaitu membangun mental seperti thawaf saat haji, kisah nabi ismail yang akan disembelih ayahnya(yang dilambangkan sebagai ujian terhadap kecintaan dunia), Rasulullah yang mengajarkan mental saat dimekah yang intinya menempatkan Allah SWT diatas segala-galanya.
    maka disini kita mempunyai 6 prinsip iman :(Kinerja EQ)
    1 Allah tujuanku(Rasa Aman)
    2 Malaikat mencatat perbuatanku(Integritas)
    3 Rasulullah teladanku
    Kepemimpinannya seperti membimbing, mempengaruhi bukan karena jabatan kehormatan atau uang dll
    4 Al Qur’an pedomanku
    Misalnya dalam surat alamnasroh ” yang dalam salah satu ayatnya berarti bahwa dibalik kesulitan ada kemudahan”
    5 Hari kemudian cita-citaku
    6 Ihlas dan tawakal sikapku
    3 Islam yang merupakan pergerakan seperti sai saat haji, Rasulullah saat membangun peradaban emas dimadinah yang dalam esq dikenal dengan 5 langkah sukses diantaranya :(Kinerja IQ)
    1 Syahadat adalah misiku
    Dengan berjanji hanya mengabdi kepada Allah serta merefleksikan(mengamalkan) sifat Allah yang terdapat dalam asmaul husna
    2 Sholat karakterku untuk mengasah 7 nilai dasar esq
    3 Puasa bentengku untuk melindungi 7 nilai dasar esq
    4 Zakat keluarkan potensiku untuk berkolaborasi dengan lingkungan sosil
    5 Haji derap langkahku Langkah total menggunakan seluruh potensi yang dimiliki(IQ, EQ, SQ) dalam haji
    Salam 165
    Sukses Indonesia 2020
    Sukses Ahlak dan Ekonomi
    “Waalaikumsalam Wr Wb”

  5. umfat said

    Wa alaikas-salam.

    Anda sepatutnya menulis “Rasulullah saww pernah bersabda (Dalam Haditsnya): “…..”, Jadi kata-kata “dalam puisinya” tidak perlu, karena kata-kata Rasulullah saww bukan berangkai dalam bentuk berpuisi, yang lebih bernuansa sebagai seorang pujangga atau penyair yang kadang-kadang mengalunkan puisi atau syair-syairnya untuk mengespresikan sebuah makna dari fenomena yang sedang,akan atau telah terjadi yang dapat difahaminya, tampa memuat nilai stetmen yang kokoh yang membentuk secara sakral dan menjadi prinsipal suatu Agama Tuhan yang dikirim untuk menjadi mizan absolut bagi prilaku seluruh ummat manusia, yang menentukan nasib baik dan buruknya disepanjang kehidupan dunia dan akhiratnya. Kalau Anda mengatakan Rasulullah saww berpusi secara sadar atau tidak sadar Anda sedang mengeksprisikan makna yang salah tentang kedudukan Tinggi Kenabian dan Kerasulan Seorang Nabi Besar Allah swt, Anda telah salah, telah mensejajarkan kedudukan Agung Kenabian Ilahi setaraf seorang penyair saja layaknya. Dan berbagai kesalahan lain yang tertera dalam komentar Anda ini yang menunjukan kesalahan ekspresi Anda tentang memahami Agama Islam dengan Benar, Karena asas berfikir Anda tentang Islam sangat rapuh dan dangkal. Walau secara dzahir Anda sedang berbicara nilai-nilai Agung Islam Seperti: Ihsan, Iman dan Islam itu sendiri, tetapi semuanya hanya berkisar pada kulit Agama saja, yang tentunya memang Indah, Tetapi Taukah Anda bagai mana hakekat perlakuan Ihsan itu siapa yang secara sempurna telah mempraktekannya secara sempurna setelah Rasulullah saww sendiri, demikian juga Iman, siapa pecontoh utama yang telah memerankan Iman seperti yang dimiliki Oleh Rasul saww sendiri, demikian juga siapa pemeluk Islam yang pertama setelah Rasul memulai dakwah Islamiahnya, Tentunya kalau bukan Ahlul-Baitnya sendiri sebagai duplikat utama Risalah Kenabianya…., sebagai pelanggeng nafas agama Tuhan ini hingga ahkiru-Zaman, Dari itu Rukun Iman dan Islam yang sudah menjadi buah bibir orang-orang seperti Anda ini harus dikoreksi kembali demi kita mendapatkan kesimpulan yang benar untuk susunan yang menjadi rukun Iman dan Islam yang beroreantasi secara logik, fitrah dan memuat kualitas spritual agama yang paling tinggi dan paling asas, Oleh karenanya untuk mendapatkan Rukun Imam dan Islam yang demikian Anda harus mencari revernsi lain dari kitab-kitab sebagai khazanah Islam dalam berbagai mazhab yang ada dalam badan umat Islam sendiri, yang ternyata menyimpan rahasia-rahasia Agung kebenaran Islam.Kalau Anda ingin tau lebih lanjut saya hanya dapat menunjukan jalannya saja yaitu selakan mengkaji dalam khzanah Keluarga Rasulullah saww sendiri. Shalawat Atas nabi Besar Muhammad beserta keluarganya yang disucikan Tuhan.

  6. Kuring said

    Subhanalloh, mudah2an Allah mengampuni karena kesalahan ijtihadkita semua. memang agama itu relatif dan multi interpretasi, satu aya mungkin di tafsirkan berbeda beda sehingga ijtihadnya berbeda. begitu pula mengenai imamah dan daulah mungkin melahirkan konsep yang berbeda. hanya Allahlah tempat kembali dan hanya Allahlah yang maha benar kita tidak tahu hakekat kehendak Allah, kita hanya berusaha mudah2an kita benar.

  7. umfat said

    Salamun Alaikum
    Memang patut kita bertasbih, mengakui kemaha sucian Allah swt dan berharap ampunanNya dari kesalahan-kesalahan ijtihad kita semua yang tidak mempunyai jaminan kemaksuman/keterjagaan oleh Allah swt sendiri dari segala kesalahan dengan rentanya kita meninggalkan tata-aturan syariat-Nya yang stabil dan tidak butuh lagi interpretasi manusia seperti kita ini untuk menentukan kebagaimanaan konsep kebenaran AgamaNya, karena Al-Hak dan al-batil sudah sedemikian telah dijelaskanNya. jadi tidak benar kalau kita menanggapi semua yang diutarakan oleh Agama itu sebagai hal yang relatif artinya tidak mempunyai kepastian argumen kebenarannya dan rentan untuk ditanggapi dengan multi interpretasi seperti yang dikatakan oleh saudara Kuring dalam komentarnya di atas. Saudara harus memahami semua ayat-ayat suci Al-Quran tidak dapat ditafsirkan secara serampangan tampa standar hadist dan riwayat yang bersumber dari manusia-manusia suci/maksum yang diberi hak oleh Allah SWT sendiri untuk menafsirkan Ayat-ayatNya DAN INI SEBAGAI SATU STANDAR KEBENARAN YANG STABIL BUKAN RELATIF dan tidak butuh interpretasi selera fikiran manusia biasa. Dan banyak lagi standar-standar kebenaran agama yang tidak sempat saya sebutkan disini karena dalam mengutarakannya membutuhkan studi banding dan kajian yang relatif panjang, Seperti Argumen: “hanya Allahlah tempat kembali dan hanya Allahlah yang maha benar” sebagai sebuah argumen yang benar dan hakiki kita tahu itulah yang benar yang diinginkan dan dikehendaki oleh Allah swt untuk kita pegang dan camkan bukan lagi perkara yang relatif, walaupun akan memuat multi interpretasi tapi semua bermuara pada satu kebenaran absolut dan stabil.Tetapi argumen “kita tidak tahu hakekat kehendak Allah”, jika dianggap sebagai sebuah kongklusi akhir semua urusan, itu tidak benar, karena ketidak tahuan sebuah kondisi relatif bagi kita yang diciptakan oleh Allah swt dengan berkeadaan memiliki potensi untuk dapat mengetahui hakekat kehendaknya, karena kondisi ketidak tahuan masih membutuhkan gerak pencarian pengetahuan untuk mencapai pengetahuan terhadap kebenaran yang dikehendaki oleh Allah swt. Tentunya usaha untuk mencapai kebenaran sebagai sebuah tindakan yang benar, tetapi argumen: “kita hanya berusaha untuk mudah-mudahan kita benar”, sebagai harapan yang salah dan berbahaya karena memuat perjalanan yang luntang-lantung. Wassalam.

RSS feed for comments on this post · TrackBack URI

Tinggalkan Balasan ke Wahyu Kurniawan Batalkan balasan